Beberapa pekan yang lalu, telah digelar pertandingan
sepak bola antara timnas indonesia melawan malaysia, tepatnya pada final piala
aff usia 16 tahun. Pertandingan berlangsung dengan begitu sengit, indonesia
unggul lebih dulu walaupun di akhir pertandingan tepatnya pada waktu injury
time malaysia menyamakan kedudukan, hingga akirnya pertandingan berlangsung
melewati perpanjangan waktu.
Pada babak perpanjangan waktu 2 x 15 menit,
pertandingan berjalan alot dan tidak sama sekali tercipta gol. Ini menyebabkan
pertandingan harus dilanjutkan dengan drama adu pinalti. Dua penendang
indonesia berhasil mengeksekusi pinalti sebaliknya dua penendang dari malaysia
gagal menjadikan tendangan pinaltinya menjadi gol. Indonesia sudah berada
diatas angin. Tapi ternyata diluar dari apa yang diharapkan tiga penendang
indonesia selanjutnya gagal sebailknya tiga penendang dari malaysia berhasil
mencetak gol.
Tak ayal hasil tersebut membuat banyak penonton,
pendukung indonesia geram, hingga akhirnya membuat komentar yang
menjelek-jelekkan kegagalan para penendang pinalti dari tim indonesia, yang
menjadi penyebab kekalahan bagi indonesia. Bahkan termasuk saya sendiri yang
berkomentar bahwa pemain-pemain tersebut tidak becus untuk menendang, dan masih
banyak komentar lainnya dari yang menonton pertandingan tersebut baik secara
live maupun melalui statsiun televisi.
Beberapa waktu berlalu setelah saya berkomentar, saya
menyadari bahwa saya hanya seorang komentator, jago di lisan tapi tidak becus
dalam perbuatan. Hanya melihat dan berkomentar tapi tidak beraksi. Berbeda dengan
sang pemain bola, dialah sang eksekutor, walaupun dia gagal di dalam
mengeksekusi pinalti. Dialah pencetak sejarah, bukan pemerhati sejarah. Namanya
tercatat di dalam berbagai media cetak, tertampang di berbagai media
elektronik. Walaupun gagal dia tetap menerima gajinya sebagai pemain sepakbola,
dan masih disebut juara walaupun di urutan kedua.
Dan komentator, tetaplah komentator. Dia tidak
mendapat bayaran atas apa yang di komentarinya, dia merasa puas atas posisi nya
sebagai pemberi komentar, dia hanyalah menjadi pemerhati sejarah. Seperti kebanyakan
orang pada umumnya. Bukan hanya pada pertandingan sepak bola, komentator dalam
hidup ini juga begitu banyak. Mereka terkadang mengomentari kegagalan
seseorang, mengomentari keburukan seseorang, dll.
Sekarang, kita masih memiliki kesempatan. Kesempatan untuk
melihat ke dalam diri kita, dimanakah posisi kita, eksekutor kah atau
komentator. Jika posisi kita saat ini adalah seorang komentator, maka rubahlah
perlahan-lahan agar kita menjadi seorang eksekutor di dalam kehidupan kita,
dimana kita kelak akan menciptakan sejarah, bagi kehidupan kita khususnya dan
bagi kehidupan masyarakat pada umumnya. Sejarah yang bisa mengharumkan nama
kita dalam kebaikan yang tersimpan di dalam sanubari orang-orang yang berada di
dekat kita atau jauh dari kita.
So, mulailah mengEksekusi..leave the komentator and go
to be the eksekutor.
Semoga Bermanfaat
-PangeranMenulis-
@abdulmhakim
0 komentar:
Posting Komentar