Suatu ketika sang kakek melihat
cucunya yang sedang termenung memandangi awal hitam lagi gelap gulita, seakan
apa yang dilihat cucunya menggambarkan masalah yang sedang dihadapinya. Kemudian
sang kakek menghampiri cucu kesayangannya tersebut dan bertanya, wahai cucuku
apakah yang sedang engkau pikirkan, tidak biasanya engkau termenung seperti
ini. “Tanya sang kakek. Aku sedang mengalami masalah yang rumit lagi besar, aku
sulit untuk tidur di malam hari dan berat rasanya untuk menggerakkan kaki ini”
jawab sang cucu.
Kemudian sang kakek mengusap
punggung sang cucu, dan mulai memberikan nasihatnya, “wahai cucuku, engkau
adalah manusia, sebuah keniscayaan jika engkau akan menghadapi suatu masalah
baik itu besar ataupun kecil. Tidakkah engkau pernah melihat seekor kijang yang
dikejar oleh singa. Bagi seekor kijang, singa adalah ujian beratnya, dan
sebaik-baik kijang adalah, dia yang dengan sekuat tenaga menghindar dan menjauh
dari kejaran singa. Dimana dia mengerahkan seluruh tenaganya, kecepatannya,
serta kelincahannya untuk menjauh dan terus menjauh hingga akhirnya dia
selamat, dan bisa kembali menikmati hidupnya. Sadarkah wahai cucuku, jika hewan
saja menghadapi ujian dalam hidupnya dan mereka bisa menghadapinya, lantas
kenapa engkau putus asa menghadapi ujian yang tidak sama sekali mengancam
kehidupanmu sebagaimana terancamnya kehidupan si kijang.
Kemudian sang kakek melanjutkan
nasihatnya, Ujian itu tergantung bagaimana kita menyikapinya, ujian itu memang
pahit dan bahkan terasa pedas bagi kehidupan kita, jika kita menyikapi pahitnya
ujian sebagaimana pahitnya racun, maka ujian tersebut semakin lama akan membuat
dirimu ke arah kemusnahan, dan kemudian jika kita menyikapi pedasnya ujian sebagaimana
pedasnya ratusan cabe, maka hal itu akan membuat dirimu semakin lama semakin
jauh dari hidup normal. Akan tetapi sebaliknya ketika pahitnya ujian engkau
sikapi sebagaimana pahitnya kopi, maka kelak perlahan-lahan engkau akan
menikmati ujian tersebut dan menghadapinya dengan penuh ketenangan. Dan juga
ketika pedasnya ujian engkau sikapi sebagaimana pedasnya sambal maka kelak
dirimu akan terbiasa mengadapi ujian, dan juga dirimu kelak akan bersikap
positif bahwa ujian semakin lama dirasa akan semakin membuatmu mengalami
peningkatan kualitas diri. Jadi nikmatilah ujianmu wahai cucuku.
Sang cucu mulai tersenyum setelah
mendengar nasihat dari kakeknya. Dia perlahan rona wajahnya berubah menjadi
lebih cerah dikarenakan mulai timbulnya sebuah rasa optimism di dalam dirinya
untuk berani menerjang semua ujian yang dia hadapi, dan dia bertekad akan
menghadapi ujian yang diberikan oleh Allah SWT kepadanya sebagaimana menikmati
pahitnya kopi dan pedasnya sambal.
Semoga bermanfaat
-PangeranMenulis-
Tulisan ini seperti kopi pahit yang menyegarkan mata saya ketika mata saya mengantuk. Membuat segar jiwa saya dan terasa tidak melelahkan mata saya.
BalasHapusTulisannya tidak terlalu panjang (meskipun mungkin bisa diperpendek) dan mudah dicerna.
Tetap semangat untuk terus menulis.
Now4tomorrow
Salam sukses Mulia